Kita sebut saja Hasbi. Sebenarnya dia bermarga, tapi aku tidak mau menuliskan marganya. Takut pula aku malah tergeneralisasi seolah orang yang bermarga serupa dengannya akan berbuat begini juga.
Hasbi seorang pejabat di kantor Dinas Pendidikan Kota Muara Tanjung. Kau pahamlah kota apa itu kan, tak usah kau coba samakan dengan Kota Tanjungbalai yang ada di Sumatera Utara itu. Sama sekali bukan.
Jabatan Hasbi sebenarnya tak tinggi-tinggi kali. Dia hanya satu tingkat di atas staf. Hasbi adalah Kepala Seksi Pengembangan Kurikulum. Jika di kantor lain, bawahan
Hasbi paling hanya dua-tiga orang saja, namun karena dia bekerja di dinas pendidikan maka bawahan Hasbi cukup banyak. Hasbi membawahi 80 orang kepala SD dan SMP se Kota Muara Tanjung.
Sesumbar Hasbi, karena urusannya adalah kurikulum maka secara tidak langsung dia merasa menjadi atasan dari ribuan murid di Kota Muara Tanjung.
Jika sedang naik besar kepalanya, dia juga merasa memiliki hak untuk mengatur orang tua siswa yang anak-anaknya rentang usia SD-SMP. “Bukankah memang pendidikan itu juga
melibatkan orang tua? Apatah lagi kurikulum.” Katanya ponggah yang menjadi nama tengahnya Hasbi “Pongah” marganyalah. Hasbi baru dua tahun bekerja di Dinas Pendidikan. Sebelumnya dia melanglangbuana sebagai staf di beberapa kantor.
Sebelum pindah ke kantor memang Hasbi ini BEGU (Bekas Guru). Aku tak pernah tahu alasannya pindah dari sekolah ke kantor.
Tapi coba sekarang tanya kepada dia apakah bersedia menjadi guru kembali? Tentu saja jawabannya tidak! Kerja di kantor lebih nikmat, lah!
Ketika dia pindah ke Dinas Pendidikan ada tiga orang yang meneleponku. Ketiga orang itu bilang “Jauhi Hasbi” Salah satu bahkan sampai memaki-maki lelaki tinggi besar berkulit hitam itu. Katanya “Pengkhianat!” “Makan teman!” “Banyak mukanya!” dan julukan-julukan jelek lainnya. Aku tentu tidak terganggu dengan itu. Aku tidak langsung percaya karena hal seperti itu harus disaksikan sendiri.
Kami sempat sedikit dekat. Dia orang yang enak diajak ngobrol. Sebagai pejabat dia terbuka, mau mendengarkan dan juga suka bercanda. Ternyata seperti kisah sinetron, sifat baik Hasbi hanya awal-awal saja.
Tak sempat dingin tai ayam, sifat aslinya langsung terlihat. Julukan yang sebelumnya ku dengar pun langsung ku setujui.
Tak kusangka pula orang-orang di Dinas Pendidikan Muara Tanjung pun menjulukinya “Hasbi si Mulut Betina”
Dia memang ceriwis. Untuk ukuran orang Muara Tanjung yang memang sangat senang ikut campur dalam urusan orang lain, Hasbi lebih parah. Padahal Hasbi bukan penduduk asli Muara Tanjung namun dia berhasil mengungguli sikap kepo dari para penduduk asli.
Orang-orang Muara Tanjung mungkin memang sering kepo tapi mereka secara terang-terangan bicara di depan. Hasbi? Sudahlah lain di mulut lain di hati, lain di depan lain di belakang, lengkap betul.
Apalagi dengan statusnya sebagai pejabat. Ini lah bagian yang aku tidak pernah terima. Sebagai pejabat yang mengurusi pendidikan harusnya dia lebih menentramkan.
Dia harusnya mampu menciptakan kedamaian untuk sesama kepala sekolah, guru pun murid. Bukannya menentramkan, Hasbi malah mengadu domba kepala sekolah dengan kepala sekolah lain, guru dengan kepala sekolah, orang tua murid dengan kepala sekolah, orang tua murid dengan guru.
Dia menikmati setiap konflik yang terjadi maka belakangan ini aku menyebutnya “Pejabat Konflik.” Entah apa alasannya, dia terlalu suka memelihara konflik. Dia hobi membandingkan satu kepala sekolah A dengan kepala sekolah B.
Katanya sekolah A lebih maju, banyak kegiatannya sedangkan sekolah B tidak. Ketika membandingkan itu dia sering lupa bahwa keuangan sekolah A dan B itu seperti langit dan kerak bumi.
Sekolah A dana bosnya lima ratus juta sedangkan sekolah B hanya seratus juta saja. Okelah mungkin dia memiliki hak untuk membandingkan sekolah A dan sekolah B. Tapi kenapa dia tidak mengatakannya di khalayak umum dan menguliti setiap kepala sekolah satu persatu?
Sebagai seorang pejabat dia memiliki wewenang untuk itu. Tapi apa yang dilakukannya? Dia mengatakan kepada kepala sekolah C bahwa kepala sekolah B tidak becus.
Dia juga mengatakan kepada kepala sekolah D bahwa kepala sekolah C dan B iri kepada kepala sekolah A. Banyak konflik yang terjadi akibat mulut pengecut Hasbi itu.
Aku mulanya tak begitu memedulikan masalah ini karena hampir tak ada urusannya denganku. Hingga suatu hari aku sengaja dipanggil ke ruangannya.
“Pak Fattah itupun harusnya paham, RPP itu kan kewajiban guru!” Ucapnya begitu aku duduk di dalam ruangannya yang berpendingin udara namun sesak asap rokok.
“Maksudnya, Bang?” Kataku pura-pura lugu. Sebagai bawahan aku wajar saja mencoba pura-pura tidak tahu apa yang dimaksud oleh pejabat ini.
“Ya itulah, RPP itu kan harusnya kewajiban guru. Tapi Pak Fattah ribut minta kertas ke kepala sekolah.”
Oh, ini tentang temanku Pak Fattah yang bersiteru dengan Plt Kepala Sekolah. Sekolah mereka akan melaksanakan akreditasi tahun ini dan Plt Kepala Sekolah meminta semua guru mencetak RPP sejak tiga tahun yang lalu.
Jika satu semester dibutuhkan sekitar 300 lembar RPP maka enam semester 1800 halaman. Pak Fattah meminta kertas, Plt Kepala sekolah bilang “Ini kewajiban guru!”
“Berarti abang yang mengusulkan ke Plt agar Pak Fattah dan yang lain mencetak RPP dengan kertas sendiri?” Kataku menyelidik.
“Bukan mengusulkan, tapi kan memang harus begitu!”
“Kebetulan sekolah kami tidak! Guru boleh mencetak RPP di sekolah, kertas dan mesin cetak disediakan.”
“Itukan kebijakan kepala sekolah kalian, bukan kewajiban!”
“Jadi abang memanggil aku ke sini untuk mengatakan kepada Pak Fattah bahwa dia harusnya mencetak RPP itu memakai kertasnya sendiri?”
“Tidak, cerita-cerita saja kita!”
“Ah, kalo abang memang mau aku bilang begitu ke Pak Fattah, kasi tahu aku!”
“Tidaklah!”
“Abang itu pejabat. Harusnya abang lebih punya kuasa untuk menyampaikan apa yang abang yakini. Kalau abang yakin Pak Fattah harus mencetak dengan kertasnya sendiri. Sampaikan ke dia langsung, jangan melalui perantara. Abang bisa memanggil Pak Fattah kapan saja dengan jabatan yang abang pegang itu.”
“Tidak begitu. Tugas kepala sekolah lah itu!”
“Maka itu, kecil sekali tugas abang memikirkan RPP dicetak oleh siapa. Culas sekali kalau abang mau menghantamkan aku dnegan Pak Fattah. Bagaimanapun abang atasanku dan aku mencoba menghormati, namun sepenting apapun peran abang sebagai atasanku, sampai mati ku bela Pak Fattah. Dia kawanku!”
“Tahu aku. Itu sebabnya kita cerita-cerita saja, tak harus membahas itu juga!”
“Cukup berani memang abang menjelekkan Pak Fattah langsung di hadapanku.
Abang merasa kita sudah cukup dekatkah?”
“Tak ada yang menjelekkan!”
“Baguslah kalau begitu. Tapi begini saja, mari kita telaah keperluan pribadi kepala sekolah selama ini, bisa jadi juga ditanggung oleh sekolah, kan?”
“Maksudmu?”
“Kepala sekolah jalan-jalan ke sana-sini pakai uang iuran Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) yang asalnya juga dari dana BOS. Kepala sekolah mencetak segala keperluannya juga pakai dana BOS. Entah-entah Plt di sekolah Pak Fattah itu juga sedang mencetak RPP nya sendiri menggunakan kertas sekolah. Karena guru-guru tahu ada uang yang bisa dimakanlah makanya mereka minta kertas RPP itu. Di kantor-kantor juga sama. Pindahan rumah pakai mobil pickup dinas, bahkan di kantor
dinas pendidikan ini ada orang yang main playstation pakai listrik dari dinas kan?”
“Bah, jauh kali pembahasan kita ini!”
“Maksudnya begini, Bang! kalau mau bongkar-bongkaran, lebih banyak jelek siapa sebenarnya?”
Aku berdiri dan berjalan menuju pintu meninggalkan Hasbi yang mematung. Jika kulitnya putih pasti terlihat sekali wajahnya merah padam. Aku sebenarnya masih menghormatinya, tapi menjelek-jelekkan salah satu sahabatku di depan mataku bukanlah tindakan yang tepat untuk seorang pejabat. Dia benar-benar ingin mengadu domba kami?
“Jangan hidup dari konflik, Bang. Pejabat itu harusnya mencari solusi, memberikan jawaban atas permasalahan. Bukan merawat konflik untuk bisa terlihat hebat. Abang Jadi orang biasa saja agar bisa sesuka hati.”
Ini bukan satu kali tindakan Hasbi membuatku marah. Kebetulan saja baru kali ini dia berkata langsung di hadapanku. Sebelum ini aku pun adalah korban dari mulut betinanya itu namun memang tak pernah kudengar langsung. Aku hanya akan menyerang balik jika memang telingaku mendengarnya sendiri. Hari yang ditunggu tiba dan aku puas bisa mengatakan semua yang kuinginkan.
Pejabat di dunia pendidikan itu tak boleh membiarkan konflik yang bisamenimbulkan polemik. Apalagi jika polemik itu sampai membuat suasana sekolah menjadi penuh pertikaian. Siapa yang akan dikorbankan jika bukan anak murid?
Entahlah, dasar pejabat konflik, dia mungkin belum tahu bahwa konflik-konflik yang dirawatnya itu akan menghadirkan banyak masalah dan musuh untuk dirinya suatu hari nanti.
Biodata PenulisEza Budiono merupakan guru di SDN. 138435 Tanjungbalai. Laki-laki yang sudah suka menulis dan membaca sejak SMP ini merupakan salah satu pemenang Sayembara Menulis Cerita Anak Balai Bahasa Sumatera Utara tahun 2021. Tahun 2024 Eza juga berhasil menjadi salah satu pemenang Sayembara Menulis Cerita Anak Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud RI. Bapak dari Utara, Puisi, dan Narasi ini dapat dihubungi di 081260647543 atau Instagram @eza_budiono.
Share This :
0 comments