Tia memandang takjub pada layar di hadapannya. Sebentar lagi akan selesai. Misi ini sangat penting. Ia harus memenangkannya. Hadiahnya dapat ia pergunakan untuk bersenang-senang.
Bunyi mouse terdengar sejak hari mulai gelap. Jemari Tia dengan lincah menggeser benda mungil berwarna hitam itu. Ia juga menekan terus-terusan. Hingga empat halaman kertas HVS di depannya sudah terisi.
Tia yakin, tidak akan ada yang mengetahui misinya. Sistem sarafnya juga sudah ahli dalam hal ini. Ia terkadang merasa geli melihat beberapa nama yang beredar di sosial media. Nama itu disebarkan hampir oleh seluruh penulis. Mereka mendapatkan citra buruk karena tidak berhati-hati.
Ya, perlu kehati-hatian dalam melakukannya. Perlu kepintaran pula. Sayangnya mereka terlalu naif, sehingga dikeroyok penulis dan berujung melayangkan permintaan maaf.
Tia menutup laptopnya. Ia menguap beberapa kali. Tanpa aba-aba, ia balik badan dan mendaratkan punggung di ranjang mini. Tak lama, dengkuran halus terdengar dari indra tubuhnya.
Tetiba lampu mati. Bola mata berwarna cokelat Tia tidak dapat melihat apapun. Seberkas cahaya lampu darurat jalan tidak muncul kali ini. Leher jenjang Tia terasa sesak. Ia ingin membuka jendela saja agar udara segar masuk ke kamarnya.
Namun kaki mulus Tia terasa berat. Kedua pergelangan kakinya seolah dipasung. Ia mencoba mengangkat kakinya, namun tak dapat bergerak sedikitpun. Alam sadar Tia yakin ini adalah mimpi. Ia menghentakkan kepala ke kanan dan kiri, tapi matanya tetap bukan terpejam. Seluruh indra tubuhnya juga terasa sadar.
Lamat-lamat terdengar suara berisik. Seperti seseorang yang keluar dari ruangan tertentu. Tia hanya menajamkan indra pendengaran.
Suara itu semakin berisik. Tia seperti mendengar berbagai tombol laptopnya bergerak tidak teratur. Ia juga mendengar napas sosok lain yang berada di ruangan itu. Tia waswas. Ia takut ada pencuri yang akan menyiksanya malam ini.
Keringat dingin mengucur dari pelipis Tia. Bajunya juga hampir basah. Tenggorokan Tia tercekat, cairan di tubuhnya sudah hampir habis. Seluruh cairan itu keluar dari pori-pori kulitnya dalam bentuk bulir asin.
Seorang wanita tiba-tiba mucul ke hadapan Tia. Ia memakai baju hitam. Aneh. Padahal Tia tidak dapat melihat apapun. Tapi sosok yang ada di depannya kini begitu jelas. Matanya memelotot tajam. Ia berkacak pinggang.
Tunggu! Sepertinya Tia kenal tokoh itu. Ia sangat mengenali melalui karya-karyanya. Tak salah lagi, itu adalah Dona Patricia. Sastrawan lawas yang sangat ia kagumi.
“Kenapa kamu hidup lagi?” Ketakutan Tia tiba-tiba meluap.
“Aku ini arwah. Aku tidak suka caramu,” bentak Dona.
“Jangan katakan keras-keras. Nanti orang lain dengar,” ucap Tia setengah berbisik. Seluruh pemilik apartemen di lantai tiga belas lengkap, tidak ada yang kosong.
“Biar saja, itu tujuanku ke sini.” Dona semakin memelotot. Aroma busuk tiba-tiba menguar dari tubuhnya.
Tia menggeleng keras. Ia ingin bangkit namun seluruh badannya tetap tidak dapat digerakkan.
“Aku hanya ingin menyambung hidup. Kau seharusnya bangga dapat menyelamatkan orang lain dari kesengsaraan.” Rasa takut Tia semakin hilang. Ia yakin bahwa ini adalah halusinasi.
“Bedebah! Kau permainkan sastra melalui jemarimu? Kau dustai seluruh pembaca dengan mudahnya? Enyahlah kau! Aku peringatkan sekarang juga. Segera hentikan caramu!” Dona menghilang seiring hidupnya lampu.
“Hei, Kau mau ke mana? Aku ingin meminta tanda tanganmu,” teriak Tia.
Perlahan kaki Tia terasa ringan. Kaki itu dapat melangkah pelan dan seperti biasa. Tia langsung mengecek laptopnya. Kondisi meja belajarnya berantakan. Posisi laptop juga berada di pinggir, nyaris jatuh dari meja berwarna putih itu.
Tia merasa kedatangan Dona hanya mimpi. Namun segalanya terasa nyata. Anehnya, lingkaran merah juga telah menandai kedua pergelangan kakinya. Jelas saja ancaman Dona bukan mimpi.
Tia merapikan meja belajarnya. Ia akan melanjutkan naskah tertunda tadi malam. Tinggal sedikit lagi, Tia harus menyelesaikannya.
Jemari lentik Tia mulai menari lagi di atas laptop. Pandangannya tetap terarah pada lembaran buku di sisi kanannya. Sesaat Tia terpaku pada tulisan yang berubah susunannya. Abjad-abjad di sana bergerak teratur. Mata Tia perih, ia seolah melihat pasukan semut yang berbaris di kertas book paper.
Ajaib! Tia menggelengkan kepala beberapa kali, ia takut berhalusinasi lagi. Abjad-abjad yang ia salin tidak lagi mampu ia baca, namun ia malah melihat lukisan di sana. Ya, huruf di sana membentuk wajah seseorang yang ia kenal. Tak salah lagi, wajah itu adalah sosok yang menemuinya tadi malam.
Dona sedang menyeringai di sana. Pandangannya tajam ke arah Tia. Buku di hadapannya seperti sebuah sketsa hidup. Bukan lagi buku karya kumpulan cerpen sastrawan tempo dulu.
Tia menutup buku itu cepat-cepat. Kemudian tangannya melemparnya. Buku itu mendarat di lantai dingin apartemen yang berwarna putih. Blurb dan logo penerbit menghadap pada asbes berelief bunga dan akar.
Tia lekas meninggalkan kamarnya. Ia perlu mendinginkan pikiran. Air mengucur deras dari keran wastafel. Tia membasuh wajahnya hingga tiga kali. Namun rasa segar belum menyentuh kulitnya. Tak puas dengan percikan air, Tia mengguyur kepalanya dengan gayung. Tak hanya tubuh, piyamanya pun basah kuyup.
Tia terus mengguyur dari ujung kepala hingga menggigil. Ia beranjak dari kamar mandi. Tetesan air mengikuti jejaknya hingga ke pintu kamar. Jejak itu berhenti di keset kaki bergambar kelapa dan pantai. Warna biru muda di sana berubah menjadi gelap.
Tia mengganti bajunya dengan jumpsuit. Ia harus memperbaiki mood agar pikirannya tenang. Segala sesuatu yang terjadi adalah karena pikirannya sedang tidak baik-baik saja.
Perih menusuk perutnya, Tia meringis. Ia ingat belum mengisi lambungnya yang sedikit manja. Tia mengaduk-aduk isi lemari es. Tak ada persiapan makanan yang tersisa di sana. Bahkan sebutir telur busuk pun tidak ada. Deretan minuman kemasanlah yang mewarnai isi benda mungil berwarna hitam metalik itu.
Tia meraih telepon genggamnya. Ia harus pesan makanan sekarang juga.
“Sialan,” umpat Tia tatkala melihat tanda silang pada jaringan ponselnya.
Terpaksa Tia harus keluar dari kamar apartemennya untuk mencari sesuap nasi. Ia berjalan dengan gontai. Perjalanan menuju warung makan terdekat ia kerahkan dengan sisa-sisa tenaga.
Tia memutuskan menyantap makanan langsung di warung bu Marni. Semangkuk bubur ayam telah memenuhi lambungnya. Tia yakin bahwa makanan itu hanya bertahan sebentar. Ia mampir di minimarket terdekat untuk membeli telur dan mie instan. Tak lupa beberapa bungkus roti dan kudapan untuk menemaninya menyelesaikan naskah nanti malam.
Sesampainya di gerbang apartemen, pak satpam memanggilnya. Beliau menunjukkan amplop berwarna putih dari kejauhan. Dahi Tia mengernyit. Sekarang semuanya serba canggih. Untuk mengirim naskah sudah melalui pos elektronik, pun mendapatkan balasannya.
Jantung Tia berdebar kencang saat meraih benda itu. Tertera nama seseorang yang mengisi pikirannya sejak tadi malam. Ingin rasanya ia meremas kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah. Namun ia penasaran dengan isinya. Tia ingin memastikan bahwa sejak tadi malam ia tidak berhalusinasi.
Tangan Tia gemetar saat membuka benda tipis itu. Secarik kertas kini ia rentangkan. Isinya hanya lima baris. Kurang lebih pesannya serupa dengan kehadiran Dona tadi malam. Sontak debaran jantung Tia semakin kencang. Kepalanya terasa berat. Ia takut kembali ke kamar.
“Ada apa, Kak?” Tanya satpam yang sejak tadi mengamatinya.
“Tidak apa-apa, Pak.” Tia berusaha tersenyum lebar pada lelaki paruh baya itu.
“Itu wajahnya pucat,” tunjuk pak satpam ke wajah Tia.
“Mungkin karena terlambat makan aja, Pak.” Tia menyembunyikan wajahnya di balik ponsel. Belum ada tanda-tanda kehadiran sinyal di sana.
Tunggu. Bukankah dari tadi orang-orang sibuk memainkan ponselnya?
“Pak, ada sinyal?” Tanya Tia dengan penuh harap.
“Ada, Kak. Kencang.” Pak satpam menunjukkan barisan sinyal yang penuh di ponselnya.
Tia memandang benda di genggamannya dengan bingung. Apakah karena kehadiran Dona sehingga ia mengalami hal yang tidak wajar ini?
“Kak, itu temannya ya?” Tunjuk sosok di hadapannya pada kejauhan.
Dona. Makhluk itu sedang melambaikan tangan di seberang jalan ke arah Tia.
“Ti-tidak, Pak. Itu sepertinya orang gila. Saya masuk dulu, Pak.” Tia berjalan cepat menuju apartemen. Langkahnya terasa lambat meskipun ia telah memacunya.
Samar-samar Tia mendengar suara Dona. Suara itu menggema di lantai apartemen. Panggilan Dona membuat buku kuduknya merinding. Keringat dingin terus mengucur dari pori-pori kulitnya.
Tia sampai di lantai tiga. Tenaganya hampir habis. Tia membanting pintu tepat saat bayangan Dona akan melesat ke dalam ruang tamunya.
Tia terduduk lemas. Ia bak tak punya tenaga lagi.
“Capek? Tentu saja lebih melelahkan daripada perbuatan keji ini tidak pernah terjadi.” Jantung Tia kembali berdetak kencang. Ia hampir melompat saat mendengar suara itu. Tia mencari Dona di segala penjuru ruangan, tidak sedikitpun bayangan Dona ada di ruangannya.
“Aku di sini.” Dona melambaikan tangan dari layar laptop Tia.
“Bertobatlah. Perbuatanmu sangat memalukan.” Dona meludah ke wajah Tia. Bau busuk sekejap menyergap indera penciuman Tia.
Tia membanting laptopnya. Pecahan kaca berhamburan di lantai. Beberapa tombol ketik sudah tidak berbentuk.
Sesaat Tia merasa tenang. Ia butuh bernapas normal. Tia semakin tidak ingin mengikuti perintah Dona. Meskipun ia tahu yang dilakukannya salah. Ia adalah penjahat dalam dunia kepenulisan. Tak mampu berkarya, hanya menjadikan karya orang lain sebagai tameng.
Namun Tia sudah telanjur basah. Namanya sudah dielu-elukan dalam dunia menulis. Ia pun mampu hidup dari pekerjaan ini.
Suara ponselnya berdering beberapa kali. Tia meraih benda termahal yang ia miliki itu. Ia senang karena jaringan di ponselnya telah muncul.
Tia menatap nanar pada beberapa pemberitahuan di sana. Semua akun media sosialnya telah diretas. Seluruh aksinya serupa. Tak salah lagi, ini adalah perbuatan Dona. Tapi kenapa ia bisa bertindak sejauh ini?
Tia kalang kabut. Ia kehilangan muka kini. Profesinya hancur sudah. Beberapa kontrak juri dan pelatihan menulis yang akan ia jalankan dalam waktu dekat gagal sudah. Inilah akibatnya ia tidak mengikuti kata hati sejak dahulu. Kata hati yang tidak menggebu-gebu terhadap keserakahan dunia.
Ponselnya tak henti berbunyi, pemberitahuan itu terus mengirimkan tanggapan pada postingan:
Saya Asetya Rindi, dengan ini meminta maaf bahwa seluruh naskah saya bukan asli karya sendiri. Saya senantiasa melakukan plagiat terhadap beberapa penulis lawas. Adapun naskah yang sering saya plagiat adalah milik Dona Patricia tanpa izin siapapun.
Biodata PenulisPenulis merupakan istri dari Arif R.H. Tampubolon. Memiliki anak balita dan usia dini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berkarya. Penulis lolos pada Sayembara Gerakan Literasi Nasional 2024 dan Sayembara Balai Bahasa Gorontalo 2024. Prestasi lainnya berupa cerita anak, cerpen, esai, opini, dan sebagainya. Penulis dapat disapa melalui akun Instagram @geti_okta.
Share This :
0 comments