BLANTERWISDOM101

ARISAN KARYA Ep.8: [Cerpen] Margondang

Selasa, 06 Agustus 2024
Cerpen lokalitas
    Permainan bahasa Ayahanda semakin lihai saja, seperti kata Ibunda “Bapakmu itu selalu memegang teguh perkataannya, ia hampir tidak pernah berdusta.”

    "Ya, hampir tidak pernah berdusta kecuali dalam urusan perang dan percintaan." Ucapku dalam hati.

    “Melamun saja Mamak lihat kerjaanmu belakangan ini,” ucap Mamak memegang bahu anak gadisnya.

    “Ah, oh iya Mak.”

    “Jangan mau pusing sendiri, itulah gunanya keluarga. Kau tahu kan Marpokat?” tanya Mamak pelan.

    “Bukannya Marpokat itu hanya untuk pembahasan acara pernikahan Mak?” tanya gadis berlesung pipi itu.

    “Ee alah boru boru, ya tidaklah! Kau ini sudah terlalu lama hidup di kota sampai lupa akan istilah marpokat di adat kita. Memang pada umumnya marpokat dilaksanakan untuk membahas acara pernikahan tetapi tidak juga. Masalah apa pun yang perlu dibahas ya silahkan marpokat.”

    Gadis itu mengangguk paham pada penjelasan Mamaknya. Angin malam ini tidak sedingin kemarin. Angin malam ini tidak bertugas menghangatkan hubungan Ibu dan anak yang sudah cukup lama dipisahkan oleh jarak dan zaman.

    Sulit bagi gadis yang akrab disapa Marito itu untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada sang Ibu mengingat kebiasaannya di kota yang menuntut untuk melakukan semuanya sendiri, bertanggung jawab atas diri sendiri dengan tidak merepotkan orang lain.

    “Pasti karena Bapakmu, kan?” tebak Mamak.

    Marito menoleh. Meski jarang bertemu, ikatan darah itu pasti akan tetap ada di darah seorang anak. Sepandai apa pun menutupi masalah, tidak akan bisa jika sudah berhadapan dengan wanita yang melahirkanmu ke dunia.

    “Bicara saja lagi baik-baik!” ucap Mamak pelan.

    Marito menghela nafas. Lelaki itu, apa bisa bicara padanya baik-baik? Hubungan Ayah dan anak yang hanya sebatas ikatan darah dan tanda di dalam kartu keluarga.

    Seorang anak yang mencoba menjadi versi terbaik dalam hidupnya dengan tetap mencoba seminimal mungkin membuka topik pembicaraan. Apakah mungkin dia akan mendengarkan permohonan anak gadisnya ini?

    Masih hangat dalam ingatan Marito senyum mengembang Bapak, yang mempersilahkan rombongan keluarga Aryo di rumah.

    Mamak yang hanya masak enak saat lebaran, kali ini memasak menu-menu mewah demi menyambut sang calon besan.
    
    Sudah Marito katakan untuk masak seadanya saja. Toh, mereka tidak akan lama di rumah, tapi Mamak dan Bapak masih keras kepala. Bagi mereka tamu adalah raja yang harus dihormati dan dimanjakan dengan pelayanan terbaik.

    Senyuman Bapak menyilaukan pencahayaan di ruang tamu yang memang sudah mulai redup. Tangannya tak henti menyalami satu per satu rombongan yang datang memasuki ruangan.

    Belum juga satu menit, berbagai hidangan telah tersedia di atas meja. Wajah Marito yang berada di dapur memerah. Ia tahu betul sifat keluarga Aryo yang sudah matang hidup di kota besar.

    “Silakan…silakan!” Bapak menawarkan jamuan makanan.

    Ayah Aryo menyeruput air di cangkir. Diliriknya wajah istrinya yang memberi kode sebuah anggukan.

    “Hmm jadi begini Pak. Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas kelangsungan hubungan kedua anak kita yaitu Aryo dan Marito” ungkap Ayah Aryo.

    Mode serius terpasang di wajah Bapak. Agaknya sesi basa basi sudah selesai dan sekarang saatnya masuk ke sesi serius.

    “Marito.. kesini nak!” panggil Bapak.

    Marito berjalan ke ruang tamu dan duduk di sebelah Mamak.

    “Apa benar Marito yang Bapak maksud adalah anak kami yang ini?” tanya Bapak.

    Marito menundukkan kepala. Basa basi ini membuatnya kesal tapi ia tidak bisa melawan.

    “I-iya Pak, benar” jawab Ayah Aryo diikuti putranya.

    “Baiklah. kalau begitu selanjutnya apa maksud Bapak?” tanya Ayah Marito kembali.

    “Iya kami ingin meminta restu dan menanyakan mahar, Pak.” Mode serius tahap dua terpasang di wajah Bapak.

    “Baiklah, saya sangat menghargai niat baik Bapak. Marito juga sudah menyampaikan niat mereka untuk berumah tangga. Saya dan istri siap memberi restu” Bapak melempar senyum. Sontak keluarga Aryo tersenyum bahagia. Aura ketegangan sedikit mencair.

    Bapak kembali berucap, “Kemudian….” Senyum-senyum itu kembali merapat.

    “Bapak pasti sudah tahu bahwa Marito adalah satu-satunya boru kami. Oleh sebab itu, kami ingin memberikan yang terbaik untuk hari kebahagiaan boru kami ini agar dihormati orang.”

    Marito kembali menunduk. Bagian pertentangan batin antara ia dan Bapaknya sebentar lagi akan di bawa ke forum. Kedua orangtua Aryo mengangguk paham atas keinginan calon besannya itu.

    “Iya Pak, kami paham. Seperti apa konsep yang diinginkan Aryo dan Marito?” tanya Ayah Aryo.

    “BUKAN BEGITU!” nada suara Bapak meninggi.

    “Kita tidak bisa menyerahkan bagian acara pernikahan ke mereka, Pak. Kita tahu sendiri anak-anak kita ini adalah generasi yang sudah mulai jauh dari adat istiadat. Jika kita tanya mereka, pasti mereka ingin pesta yang modern.” Aryo dan Marito menunduk.

    “Saya ingin anak saya dibuat adat margondang, Pak. Saya ingin mengundang seluruh warga desa dan membuat adat margondang dua hari dua malam.”

    "Jleb." Bola mata kedua orangtua Aryo terbelalak. Marito menghela nafas. Mamak mengelus-elus kepala putrinya itu.

    "Ting." Sebuah pesan masuk ke layar ponsel Marito. Raut wajah bahagia terpancar di wajahnya yang manis.
***

    Lantunan alat musik gordang sambilan menggema menyambut pagi yang cerah di desa Marito. Hiasan-hiasan yang mayoritas didominasi warna merah menjadi pelengkap keindahan pesta adat pernikahan Marito dan Aryo.

    Meski terlihat kaku seperti robot, kedua mempelai tampak fokus dan melakukan terbaik dalam menarikan tari tortor pada acara margondang di pesta pernikahan mereka. 

    Dari kejauhan tampak Bapak meneteskan air mata bahagia menyaksikan anak gadisnya yang bersedia mengikuti kemauan Bapaknya yang terkenal mendidiknya dengan sangat keras.


***

Keterangan :

Margondang = Salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang lahir dan berkembang di Tanah Batak yang eksistensinya masih ada hingga saat ini. Margondang biasanya dilakukan pada saat acara-acara adat Batak seperti pada saat pesta perkawinan.

Boru = Anak perempuan

Gordang Sambilan = Salah satu kesenian Tradisional suku Batak Mandailing


Biodata Penulis


Penulis bernama Mutia Nasution, penikmat teh, risol dan deru angin di antara awan. Padang Sidempuan menjadi saksi tumbuh kembang penulis yang telah berkarya sejak tahun 2015 itu. Beberapa karyanya pernah bertengger di Harian Waspada, Analisa, Medan Bisnis dan Riau Pos. Mari berdiskusi melalui email mutianasution238@gmail.com.
Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

1 comments