Siapa di sini yang hobi menonton sepakbola? Kebanyakan kaum adam tentu saja menyukainya. Apalagi di negara yang berpenduduk 250 juta jiwa ini. Tak heran begitu banyak fans dan supporter sepakbola yang ada mendukung klub sepakbola daerahnya masing-masing.
Pertanyaannya, maukah tim sepakbola main di luar negeri, ikut Liga Champions Asia bahkan menjuarainya? Atau ikut Piala Dunia Antar Klub dan melawan klub-klub elite Eropa seperti Real Madrid, Liverpool, atau Juventus?
Untuk level timnas, maukah kita melihat timnas kesayangan kita bermain di Piala Dunia dan melawan negara-negara yang kuat seperti Brazil, Argentina, Prancis, Inggris, dan lain sebagainya? Pasti sangat menantikan dan antusias jika itu terjadi,’kan?
Sayang seribu sayang, impian di atas masihlah sekadar mimpi. Kita belum pernah melihat klub asal Indonesia berbicara banyak di level Asia. Untuk Timnas sendiri memang pernah berlaga pada tahun 1938. Itu sudah lama sekali dan nama timnya masih bernama Hindia Belanda.
Sempat timbul harapan ketika Timnas Indonesia lolos di babak 16 besar Piala Asia tahun ini, namun langsung sirna begitu dihajar Australia 4 gol tanpa balas. Apa yang salah dengan sepakbola kita? Mengapa tim sepakbola Indonesia, baik level klub maupun level timnas?
Sebagai cerminan, untuk level Piala AFC misalnya, prestasi terbaik klub Indonesia adalah mencapai semifinal yang diwakili oleh Persipura Jayapura tahun 2014. Sisanya? Kebanyakan terhenti di 16 besar, padahal ini turnamen level 2 Asia. Untuk level timnas, meski kita berjaya di piala AFF (runner up 6 kali), kita tak bisa berbicara banyak di Piala Asia apalagi Kualifikasi Piala Dunia.
Peringkat FIFA kita juga termasuk buruk di level Asia Tenggara. Data FIFA terbaru menyebutkan Indonesia berada di peringkat 146. Sedikit lebih baik dari Singapura (156), Myanmar (162), Kemboja (179), Laos (184), Brunei Darussalam (189), dan Timor Leste (200). Bandingkan dengan Malaysia (130), Thailand (113), bahkan Vietnam (94) yang sudah di atas kita.
Dengan fakta yang mencengangkan di atas, tentu tidak salah mengatakan bahwa sepakbola Indonesia tidak berkembang bahkan mengalami kemunduran. Ada banyak penyebab mengapa sepakbola Indonesia tidak maju.
Pertama, tidak adanya pembinaan usia dini diikuti dengan ketiadaan fasilitas yang mendukung pembinaan. Di luar negeri, anak-anak yang bercita-cita sebagai pemain sepakbola sudah bisa dibina dari umur 5 tahun. Lengkap dengan fasilitas mewah dan mumpuni yang mendukung pengembangan bakat mereka.
Pembinaan pun berjenjang sehingga ada pelatihan untuk umur 9 tahun, 12 tahun, pra kontrak, junior, hingga professional. PSSI di sana sangat memperhatikan program pembinaan ini untuk menghasilkan bibit-bibit bagus yang kelak akan melahirkan pemain sepakbola tangguh untuk membela timnasnya. Bagaimana dengan PSSI kita?
Jumlah SSB sebagai pembinaan minat dan bakat anak untuk sepakbola masihlah sedikit. Belum lagi ketiadaan fasilitas pendukung menambah miris tentang perkembangan penerus sepakbola Indonesia kini.
Kedua, ketiadaan visi misi PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia untuk masa depan. Tidak ada pembinaan usia dini. Tidak ada target jelas jangka panjang, menengah, dan pendek bagaimana melahirkan timnas yang kuat pada masa mendatang.
Kalaupun ada, itu pun berharap akan proses instan, misalnya dengan “mengambil” orang luar yang sudah jadi untuk main di Timnas. Jangan heran sekarang ini PSSI banyak menaturalisasi pemain asing yang memiliki darah Indonesia agar bisa bermain di Timnas untuk mendapatkan hasil instan pula di turnamen-turnamen yang diikuti.
Berlian-berlian kasar yang bisa diolah dengan panduan yang tepat diabaikan, padahal bakat mereka tak kalah dari pemain luar negeri. Hal ini diperparah dengan PSSI yang diisi orang-orang tak berkompeten, tak paham akan sepakbola, dan dengan dekat politik.
Ini menambah runyam bagaimana sepakbola Indonesia masa mendatang jika tidak memiliki wadah yang bagus untuk melahirkan bakat-bakat itu. Semua hilang dan tersia-siakan.
Ketiga, Liga Indonesia sebagai tempat mengasah kemampuan pemain makin menurun kualitasnya. Liga yang seharusnya menjadi kasta tertinggi, kiblat kompetisi bagi turnamen-turnamen di bawahnya serasa menjadi liga amatiran yang tak jelas. Berbagai problematika mendera di dalamnya.
Mulai dari kualitas wasit yang rendah, supporter yang tidak sportif ketika tim kesayangannya kalah hingga memicu kerusuhan, dugaan match fixing dan sogokan kepada ofisial pertandingan untuk memenangkan salah satu tim, dan lain sebagainya. Masih ingat dengan kasus sepakbola gajah yang melibatkan PSS Sleman dengan PSIS Semarang pada tahun 2014 silam?
Saat itu, kedua tim yang berlaga di Divisi Utama seolah tak ingin menang meski sudah lolos semifinal karena tahu akan menghadapi tim yang kuat di semifinal. PSSI hingga FIFA sampai turun tangan menginvestigasi kasus ini. Hasilnya bisa ditebak. Kedua klub disanksi dengan berat bahkan ada pemainnya yang dipensiundinikan dari sepakbola.
Ini adalah satu dari sekian banyak potret buram bapuknya liga kita. Ini menjadi perhatian khusus bagi semua pihak, terutama stakeholder jika ingin sepakbola Indonesia maju. Perlu perbaikan yang holistik dan komprehensif membenah prestasi sepakbola kita. Tak bisa setengah-setengah. PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia menjadi elemen yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.
PSSI haruslah direstrukturisasi kepengurusannya dengan diisi oleh orang-orang visioner, tak hanya paham akan sepakbola, tetapi juga profesional perdan siap berkorban. PSSI juga harus bebas dari konflik kepentingan dan memikirkan keuntungan semata.
Selain itu, mereka juga harus perhatian dengan sarana dan prasarana serta program pembinaan usia dini. Terakhir yang tak kalah pentingnya liga di Indonesia juga dikelola secara profesional. Tingkatkan kualitas pelatih, wasit, dan ofisial pertandingan. Khusus untuk supporter, berlakulah secara adil jika menerima kekalahan. Jangan rusuh apalagi sampai merusak fasilitas stadion.
Memimpikan sepakbola di pentas dunia bukanlah pepesan kosong yang tak bisa jangkau. Justru kita harus bersatu, memiliki mimpi yang sama untuk berusaha mewujudkannya.
Medan, 11 Februari 2024
Tentang Penulis:Andri Akbar Pohan, lahir di Medan, 27 Juni. Penulis lulusan Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada ini menyukai dunia literasi dan olahraga. Saat ini, aktif di FLP Medan sebagai staf Kaderisasi Cabang. Penulis dapat dihubungi di andriapohan2706@gmail.com
Share This :
0 comments