Pagi ini, aku masih menikmati hari terkahir di Bali yang merupakan tugas dinas sekaligus liburan di awal tahun.
Meski tidak banyak yang berubah sejak satu tahun lalu ketika terakhir kali menginjakan kaki kesini, aku tetap antusias dan ingin kembali ke tempat-tempat yang memang sudah pernah dikunjungi sebelumnya.
Sensasinya sama seperti ketika memakan bakso favorit, sudah pernah tapi ingin lagi dan lagi.
Sambil menunggu rombongan bersiap, aku mulai berselancar di media social agar tidak bosan. Deeert! Pemberitahuan pesan baru berbunyi, segera ku buka dan ternyata dari Galih. Galih adalah mantan kekasih sahabat ku.
Ra, apakah kamu sudah mendapat kabar ?
Kabar apa ? Jawabku cepat karena penasaran.
Kia akan menikah Jumat ini, katanya lagi. Aku tak percaya, tapi penasaran.
Ah, kamu jangan mengada – ada. Tidak mungkin! Dia belum ada mengabari ku.
Benar! Balasnya singkat sambil mengirim screenshoot, bukti obrolan mereka berdua
‘Apa? Jadi, Kia benar-benar menerima lamaran meskipun jadi istri kedua ?’ Aku tak habis pikir, aku terbawa suasana. Kia justru menginformasikan hal seperti ini kepada si mantan terlebih dahulu, ketimbang kepadaku yang bersahabat sejak masa kuliah.
Pikiranku berkecamuk, apa yang ada di pikiran Kia saat ini? Mengapa dia mengambil keputusan secepat itu tanpa berdiskusi kepadaku? Ah! Sahabat seperti apa aku ini? Atau bahkan aku memang tak dianggap sahabat olehnya.
Hari terakhir di Bali terasa begitu lambat berjalan, seakan jarum panjang jam tangan yang kukenakan enggan untuk berpindah. Seperti aku yang sering mager ketika hari libur tiba.
Sesampainya di Medan, aku ingin segera menemui Kia. Tapi, egoku yang lain berusaha menahan, tunggu ia yang menghubungi.
Beberapa hari ku tunggu, tak ada kabar, tak undangan akad nikah, bahkan tak ada pesan sekalipun darinya. Aku mulai menganggap bhawa kabar dari Galih adalah sebuah hoax.
Deeert !
Assalamualaikum. Ra, kapan bisa ke rumah ? Masa dari Bali gak bawa oleh-oleh ? Pelit huh! Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya Kia menghubungiku. Yey!
Wa’alaikumsalam Ki, kapan aku bisa ke rumah ? Nih aku mau bawa baju kotor buatmu!
Malam ini ya, plis. Sekalian ada yang mau aku ceritakan. Deg! Jantung ku berdetak tidak normal. Bisa jadi berita dari Galih adalah benar, bahwa Jumat ini Kia benar-benar akan akad nikah.
Oke, tunggu aku yaa !
Ku matikan sambungan wifi di gawai agar bisa segera fokus mengerjakan laporan proyek yang belum selesai. Aku tak sabar untuk segera pulang dari kantor, aku tak sabar menunggu malam dan yang paling penting aku tak sabar menunggu cerita dari Kia.
***
“Woy, enaknya yang pulang dari Bali !” Sambutnya, ketika aku baru sampai di halaman rumahnya.
Aku mematung sembari memandangi gadis cantik keturunan nias yang berbalutkan gamis ungu muda, di padu jilbab syar’i berwarna ungu tua yang menjulur hingga mengimbangi panjang gamisnya.
Gadis ini! Begitu berbeda ketika pertama kali aku mengenalnya. Kami, dulu sama-sama jeans lovers! Everyday is jeans!
“Apa?” Ucapnya galak, menghilangkan kesan anggun yang selama ini dibangun. Aku tersentak, kemudian langsung mengalihkan pandangan.
“Gak apa-apa, galak amat sih.” Aku mengelak, kemudian berjalan menghampiri lantas memeluknya.
Tanpa dipersilakan masuk, aku langsung berjalan memasuki rumah dan menuju kamar Kia. Pemilik rumahlah yang justru mengekor di belakangku. Aku masuk ke kamarnya dan segera merebahkan diri ke kasur empuk tanpa melepas kaos kaki dan hijab. Kia duduk disampingku, terdiam.
Akupun justru bungkam, tidak ingin memulai pertanyaan. Ku biarkan, hingga Kia kehilangan kesabaran dan akhirnya mulai bersuara.
“Ra! Hari jumat, ba’da dzuhur aku nikah.Tuh, gaun aku.” Ucapnya santai, sambil menunjuk gaun cokelat muda yang sederhana tapi terlihat indah. Aku diam saja, enggan buka suara.
“Komentar dong! Kok diem aja?” tanyanya kesal
“Sama siapa ?” akhirnya aku bertanya, meski sudah ku ketahui jawabannya dari Galih tempo hari.
“Sama Pak Abdurrahman, Ra.” Jawabnya lagi, tanpa penjelasan yang sedari tadi ku tunggu.
“Terus?” aku mulai kesal setelah mengetahui kenyataan.
“Apanya yang terus?” tanyanya lagi, mungkin mulai kesal karena responku.
“Pak Abdurrahman pemilik usaha travel tempat kamu bekerja? Dia kan udah punya istri? Bukannya kamu udah nolak, ya? Kenapa lusa bisa nikah sama dia?” aku masih tak habis pikir, masih belum bisa menerima kenyataan.
“Nah, itulah Allah Ra. Pembolak-balik hati manusia. Masih inget gak? Dulu aku pernah cerita kalo setelah nikah aku pingin istiqomah menggunakan cadar? Aku juga pingin punya suami yang membimbing aku menuju surga? Suami yang bisa nuntun aku. Aku rasa, kalo sama Galih gak akan bisa seperti itu, bahkan bisa jadi aku yang mengarahkan dia. Nah, meskipun Pak Rahman udah pernah aku tolak, beliau tetap memperjuangkan aku. Aku juga jadi memikirkan ulang, aku lihat lagi kesehariannya dalam beribadah, bagaimana dia memperlakukan istri dan anaknya. Dilihat dari agama, gak ada alasan aku buat nolak. Jadi, entah gimana keyakinan aku tiba-tiba menguat. Aku mau jadi istri keduanya.” jawabnya panjang lebar.
“Kamu sehat, kan?” tanyaku yang masih tak terima keputusannya
“Kamu gila, ya?” Kia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, lalu memalingkan wajah. Terlihat enggan melihat wajahku lagi.
“Kok aku yang gila?” jawab ku tak terima.
“Jadi, aku yang gila?" tanyanya lagi sambil terkekeh.
“Enggak! Kamu gak gila. Aku yang bisa gila, tau? Lusa akad nikah dan malam ini baru ngasih tau aku? Oke, kalo nikah sama ikhwan single. Ini? Kamu nikah sama orang yang sudah menikah, bukan sama duda. It’s mean kamu jadi yang kedua. Jadi yang kedua loh, Kia! Aku yang ngebayangin aja bisa gila tau!” aku meluapkan emosi.
“Insya Allah, kalau tujuan nya karena Allah semua akan baik-baik saja. Insya Allah semua akan berbuah manis di surga. Ra, aku menikah bukan tentang dengan siapa, tapi tentang karena siapa. Aku Ra, aku menikah karena Allah.” Jawabnya kalem.
Aku tak menjawab, tak berkomentar. Aku terdiam, air mataku tumpah perlahan. Aku menangis, seperti mantan kekasih yang akan ditinggal menikah. Aku memunggunginya, terisak sendiri. Tak rela sahabatku dijadikan yang kedua, tapi apa mau dikata? Ia yang menjalankannya justru fine-fine saja.
Kemudian aku tertidur sebelum mengatakan penerimaan atas apa yang sudah ditetapkannya. Ah! Untuk apa penerimaanku? Menerima atau tidak, Kia tetap menapaki jalan yang dipilihnya.
***
Hari pernikahan Kia digelar secara sederhana, tak ada musik, tak ada pelaminan dan tak ada foto bersama. Di hari ini yang seharusnya bahagia, aku malah patah hati.
Lebih tepatnya, aku bingung bagaimana kehidupan Kia kedepannya. Menjadi yang kedua, tentunya bukan hal yang mudah. Dulu, ketika masih bersama dengan Galih saja hampir tiap pekan ada curhatan kecemburuan dan masalah-masalah yang dapat membuat retak hubungan. Apalagi sebuah pernikahan seperti ini?
Buk! Aku memukul kepala, mencoba menghilangkan fikiran-fikiran negatif tentang kehidupan rumah tangga Kia kelak. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, sesuatu yang sudah tertuliskan dalam Al-Qur’an tentu memiliki hikmah dan pelajaran bagi seluruh ummat manusia.
Mungkin, memang aku yang seharusnya memandang dari sisi Kia, tidak seharusnya aku menghakimi kehidupannya, tidak mengatakan salah atas keputusan yang diambilnya dan tidak memprediksi masa depannya. Baiklah, Kia harus bahagia atas apa yang menjadi pilihannya.
***
“Assalamu’alaikum ..” ucapku sambil mengetuk pintu
“Wa’alaikumsalam, Fahiraa...” muncullah seorang wanita berbalut gamis mocca dengan wajah yang bersinar.
Sejak acara pernikahan tiga bulan yang lalu, baru kali ini aku bertemu dengan Kia kembali. Hal ini karena kesibukanku di kantor, juga kesibukan Kia sebagai ibu rumah tangga.
Malam ini, Kia-lah yang mengundangku ke rumah karena suaminya sedang berada di rumah istri pertama. Tidak seperti dulu, aku menunggu dipersilakan masuk, kemudian mengekor menuju kamarnya dan lagi-lagi aku langsung merebahkan diri ke kasur empuk berlapis seprei berwarrna hijau tua.
“Ibu manajer proyek capek, ya?” ucapnya membuka percakapan
“Iyanih, Ibu rumah tangga gak capek kan?” aku menjawab asal
“Hahaha... Ada capek dan ada enggaknya, Ra. Kamu apa kabar? Kok kurusan?” tanyanya prihatin
“Aku banyak mikir akhir-akhir ini, banyak proyek juga. Kamu? Kok gendutan, Ki?” tanyaku balik
“Aku hamil. Udah 2 bulan, loh.” jawabnya bahagia
“What? Aku bakalan punya keponakan, dong? Sehat-sehat ya ponakan aku” ucapku sambil mengelus perutnya yang masih rata.
“Makasih tante Fahira. Ra, makasih ya udah khawatirin aku. Padahal aku yang di khawatirin gak kenapa-kenapa. Nikah gih, Ra! Enak tau” pada akhirnya ia meledek. Aku tak menjawab, malah melotot.
“Ra, nikah itu menyempurnakan separuh agama. Mentang-mentang kamu udah jadi manajer proyek, udah punya uang banyak, jangan sampe ngerasa gak butuh laki-laki. Kamu tau Ra, orang-orang tuh sama kaya kamu. Sampe sekarang malah, mereka ngehakimin aku karena mau-maunya jadi yang ke…”
“Tolong yaaa, aku gak ngehakimin!” potongku tak terima
“Ya, apapun itu. Meski kamu gak gosipin aku, gelagat kamu tuh keliatan. Ra, aku juga dulu sempat takut apa yang menjadi kekhawatiran kalian bakal terjadi. Tapi, ternyata dunia gak sekejam itu kok. Menjadi istri kedua gak se-menyedihkan itu kalo memang niat kita karena Allah. Gabisa di pungkiri, masalah pasti ada. Ya, masalah di rumah tangga sewajarnya lah. Tapi Ra, dengan menikah sama Mas Rahman aku semakin dekat sama Allah. Yang tadinya males-malesan salat dhuha - salat tahajud, sekarang udah jadi rutinitas. Yang tadinya susah buat ngehafal Qur’an, sekarang jadi terbiasa. Pokoknya aku dibimbing banget buat deket sama Allah, Ra. Jadi, kamu gak usah khawatir sama aku. Aku pilih mas Rahman kan gak asal, pake observasi dulu. Kamu tuh yang harus khawatirin diri sendiri, udah lebih seperempat abad belum juga niat menikah!” ucapnya sambil tertawa mengejek.
Wah! Kia masih tetap sama seperti Kia yang ku kenal. Bedanya, sekarang ia sudah menyandang gelar istri dan mungkin tujuh bulan lagi akan bertambah gelar sebagai ibu.
Kekhawatiran ku mulai menguap setelah mendengar kisahnya, aku sudah bisa memberi penerimaan atas keputusan yang dipilihnya dan aku cukup bahagia melihat kebahagiaannya.
Aku baru menyadari bahwa pemikiranku masih terlalu dangkal bahkan beraninya menghakimi sesuatu tanpa data yang jelas karena hanya mengandalkan perasaan. Mungkin esok lusa, aku akan lebih bijaksana lagi dalam menanggapi berbagai hal.
Ya, termasuk soal pernikahan. Meski Kia bahagia atas pilihannya untuk menjadi yang kedua, aku akan tetap ingin dan harus menjadi yang pertama dan satu-satunya.
Tentang Penulis:M. Khamdiyah merupakan perempuan kelahiran Aceh Barat, 05 Mei 1995. Tergabung dalam Forum Lingkar Pena Cabang Kota Medan sejak 2019 dan aktif sebagai Relawan Rumah Zakat Medan Sejak 2017. Untuk berkomunikasi, dapat dihubungi melalui akun instagram @m.khamdiyah_
Share This :
0 comments