Dunia Digital Perlu
Peran Kaum Pesantren
Oleh: Amanina Rasyid Wiyani
(Ilustrasi: Sorogan.com)
Jika masyarakat umum mendengar kata ‘santri’ maka yang terlintas adalah sosok-sosok yang menghabiskan diri dengan kitab kuning atau hafalan Al-Qur’an dan terkesan kudet. Terlepas dari sudah cukup banyak santri lulusan pondok pesantren modern seperti gontor, akan tetapi beberapa peran mereka masih belum timbul di halaman media. Bayangkan saja kita sama-sama melihat konten Tik Tok, Instagram, dan Twitter yang dipenuhi oleh aksi ngawur mencomot hadis tanpa memperhatikan perawi dan tafsirnya. Sedangkan sosial media sudah mulai dipenuhi dengan bocah-bocah kecil yang kurang pengawasan atas orang tua dan mereka mengkonsumsi informasi-informasi bebas tersebut tanpa sempat mengetahui pentingnya prinsip saring sebelum sharing dan olah sebelum makan.
Melansir dari laman databoks.katadata.co.id, kita mendapat sebuah gambaran bagaimana pengguna aktif sosial media saat ini dikuasai penuh oleh usia produktif dalam beberapa tahun ke depan yang dicanangkan sebagai generasi emas 2045. Rasanya sangat disayangkan apabila usia-usia produktif ini justru terpapar informasi sembarang yang dapat mengganggu sikap berpikir kritis dan analitis. Terlebih dengan adanya ancaman paham liberal dan radikal yang semakin gencar menjalankan aksinya untuk menanam dogma-dogma miring mengenai Islam.
Pentingnya melanjutkan perjuangan kemerdekaan
Sebelum kemerdekaan, sebutlah saja terdapat deretan ulama-ulama nusantara yang turut memperjuangkan kemerdekaan dan melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajahan. Sampai hari ini datang, kemerdekaan secara nasionalis telah didapatkan. Akan tetapi, tantangan dan problematika tidak selesai sampai di situ. Isu radikalisme dan isu perpecahan semakin marak ditemukan. Diperjelas dengan kehadiran debat kusir di sosial media yang semakin menimbulkan konflik SARA berkepanjangan, mau tak mau harus segera dituntaskan.
Kaum santri atau pesantren di sini sebagai kaum yang telah mendalami ilmu agama, sebaiknya harus berperan aktif untuk menyukseskan dunia digital dan informasi yang aman bagi generasi berkelanjutan. Pendalaman ilmu Fikih dan Tasawuf yang mereka miliki harus mampu sebisa mungkin agar lebih bersahabat dengan kaum muda. Karena Islam di Indonesia harus patut dihargai sebagai Islam yang tidak sebatas terpenuhnya jumlah kuantitas namun kualitasnya.
Bagaimana pun, sikap jihad ulama terdahulu untuk kemerdekaan Indonesia adalah relevan pada zaman tersebut. Kaum ulama dan santri di era ini juga begitu, tidak boleh memangku kaki dan hanya beorientasi pada pengembangan karakter melalui dunia ril semata. Melainkan pula dunia maya sebagai jihad terbesar yang wajib segera dikuasai.
Pentingnya menghilangkan sikap antipati terhadap popularitas
Kalian jangan mengharapkan populer atas sesuatu karena populer yang baik adalah di mata Allah bukan manusia
Pernyataan di atas rasanya selalu mampu menyihir siapa pun karena obsesi yang sungguh terhadap kedekatan dengan Tuhan sampai-sampai melalaikan kita bahwa dalam berinteraksi, kita tidak hanya berpatokan dengan ibadah dan keikhlasan semata. Bahwa sejatinya dunia keseharian masih terhubung langsung secara sosial dan dinamis. Kita butuh suara-suara yang tidak hanya terbatas dalam lingkungan kecil di sekolah-sekolah atau perkumpulan sekali reuni.
Jika kita ambil contoh ialah tokoh jurnalis terkemuka Najwa Shihab yang mampu dengan kepopulerannya mengungkapkan hal-hal miring yang sebelumnya ditutup-tutupi oleh dunia perpolitikan di Indonesia, meski tidak seenuhnya tuntas. Namun dengan suara dari Najwa Shihab, ia berhasil memberikan keadilan baru bagi rakyat-rakyat yang tertindas. Tak lain juga karena adanya peran dalam lingkar digital.
Kaum santri butuh keberanian untuk tidak takut populer hanya karena akan menghadapi tantangan berupa cobaan dari Tuhan yang bisa saja menguji kekukuhan hati atau keangkuhan. Toh popularitas adalah sebuah anugerah sekaligus mandat tidak langsung dan jalan terbaik mencapai sebuah tujuan.
Kaum santri sebaiknya tidak hanya datang sebagai pengkritik media-media miring yang sudah tidak diragukan lagi kepopulerannya. Akan tetapi, kaum santri sebaiknya tanggap dan segera membangun rencana kepopulerannya sendiri dalam mewujudkan perlawanan memperjuangkan kualitas Islam yang rahmatan lil alamin.
Fleksibelitas dan adaptif
Tidak menutup fakta bahwa sejatinya peran-peran santri juga telah melakukan pergerakan yang cukup baik di dunia sosial media. Sebutlah salah satu sosok terkenal seperti Habib Husein Ja'far Al Hadar yang berhasil menggait anak-anak muda untuk tertarik dan terbuka terhadap pandangan-pandangan Islam terbarukan.
Dari sosok tersebut, kita dapat mengambil suatu hikmah mengenai anak muda yang sebenarnya memerlukan perhatian dan pendekatan secara halus namun tetap dinamis mengikuti alur jalan Islam. Dunia hari ini membutuhkan Islam yang fleksibel namun tidak keluar dari batasnya dan begitu pula sebaliknya, Islam membutuhkan era dan kebermanfaatan saat ini untuk terus melanjutkan eksistensinya. Berangkat dari hal-hal tersebutlah, kaum santri tertuntut untuk berjuang aktif lewat dunia digital dan mengaplikasikan nilai-nilai sejati dari agama yang penuh kesejatian.
Tentang Penulis
Lahir dengan nama Amanina Rasyid Wiyani dan sedang dalam proses menjalani kehidupan dalam dunia tulis-menulis. Tepat 23 Oktober 2005 atau sekitar 16 tahun lalu ia lahir mengungkapkan tangis kecil menyambut dunianya. Masih berstatus pelajar SMA kelas 3. Bertempat tinggal sementara di Pondok Pesantren kecil di pelosok negeri Jawa Tengah, Batang.
0 comments