Cerpen : Mhd Ikhsan Ritonga
Hujan
turun dengan tetesan yang begitu syahdu. Ia jatuh perlahan, namun tetap memberi kepastian. Rintiknya jatuh
dan merebak kesegala arah. Begitulah suasana sore. Aku menikmati
sore yang dingin. Hembusan bayu yang mengusik jiwa. Buluari terkadang merinding
seperti jin lagi lewat dari belakang. Di halte bus aku masih saja memperhatikan
jalanan yang mulai sepi. Kesepiannya seperti kenangan yang ditinggalkan tanpa
harapan.
Jalanan
ini indah, hujan itu membuat aku berimajinasi tentang rasa. Sering aku
mengaitkan kata dengan hujan. Karena bagiku mereka adalah sepasang kekasih yang sudah
ditakdirkan Tuhan. Lain halnya
denganku yang kini ditinggalkan kenangan. Aku mengeluarkan
selembar kertas dan sebatang
pulpen
dari dalam tas. Kucoba merangkai
hujan menjadi puisi.
Hujan dan Puisi
Diantara kenangan mati
Aku menyepi diantara
puisi
Hujan pun begitu
Ia merasakan sepi sebab
puisinya akan pergi
Medan, 2020
Kumerangkai kata sedemikian rupa. Aku percaya takdir
Tuhan tentang jodoh. Bagiku hujan adalah jodohnya dari puisi. Dari kejauhan aku melihat sosok pria gemuk berlari-lari
kecil kearahku. Semakin lama tubuh itu mendekat. Dia menatapku dan melambaikan tangan. Itu
adalah Darman. Dia langsung duduk disampingku. Dan membuka pembicaraan.
"Luhut,
sedang apa kau di sini?"
"Hanya menghabiskan waktu saja.” Balasku kepadanya.
“Ah, yang benar saja kau. Tak mungkinlah seorang Luhut
menghabiskan waktunya begitu saja.” Ucap Darman. Sesekali Matanya
mencuri-curi pandang dari kertas yang ada ditanganku.
"Itu
apa Lae?"
"Ini
hanya kertas yang berisi puisi Lae,"
jawabku.
"Pandai
juga rupanya kau menulis ya, bukan anak sastra tapi jago berpuisi. Salutlah aku
sama kau Lae,"
ucapnya datar.
Kata-kata
Darman itu menjadi sebuah kata yang sering bersarang dipikiranku. Tapi bagiku puisi bukan hanya untuk anak sastra, siapa pun bebas
berpuisi. Hujan saat itu belum reda. Aku dan manusia buncit itu masih duduk dan
memandang jalanan. Waktu akan terus berputar dan mencari tempat untuk kembali
menyusun kenangan. Seperti halnya aku yang kini menjadi kenangan sebab
kepergian yang tak diharapkan.
Tiba-tiba Darman menanyakan perihal kenangan kepadaku.
"Lae, gimana kau dengan si Soriana?"
Pertanyaan
yang selalu tidak kuharapkan keluar dari lisannya.
"Lae Dengarlah aku
baik-baik. Soriana
sudah tidak ada kabar, dia sekarang entah dimana. Kalau pun dia kembali aku
tidak yakin kalau dia sendiri," ucapku mata berlinang
Sariona adalah seorang gadis yang kukenal
di kota Medan ini. Dia adalah gadis yang lihai dan sangat ramah. Tapi semua
berbalik arah. Ketika senja tak lagi indah untuk dinikmati. Ketika purnama pada
puncaknya akan mati. Begitu halnya dengan kisah yang terbakar seperti jerami.
Dia pergi bersama keluarganya. Tidak tahu itu akan kembali atau tidak sama
sekali.
Aku
yang kini menjadi kesepian diantara puisi-puisiku. Rasanya rindu sudah
mengendap, namun pertanyaan Darman kembali membuatku mengusik cerita itu. Masih
jelas di benakku, sehari sebelum pergi aku dan Sariona masih sempat berjumpa. Pertemuan
yang amat singkat, pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir. Kata-kata
yang dia lontarkan saat itu adalah "Luhut,
nanti aku akan kembali" dalam hatiku kata-kata yang begitu ambigu.
Terakhir dia memberi surat perpisahan.
Perlahan
hujan mulai reda, kurasa dia tahu kalau kami sudah bosan dalam penantian ini.
Penantian yang tak kunjung pasti. Aku melihat wajah Darman sudah
terkantuk-kantuk. Matanya merah. Seperti kebiasaannya kalau sudah seperti itu,
pertanda ranjang telah memanggilnya.
"Darman,
ayok kita pulang!" Dengan sigap dia naik ke sepeda motor terlebih dulu.
Hujan mulai meninggalkan kenangan yang sudah ia sucikan.
Kesepian
adalah jalan kita untuk menjadi puisi. Demikian halnya dengan segala cerita
yang telah dilewati. Malam mulai menyambut pilu. Saat itu juga aku berada dalam
sebuah kenangan yang merasuk ke dalam asa. Entah kenapa aku kembali memikirkan
Butet, entah dia kembali lagi ke kota ini atau tidak. Atau malah sebaliknya aku
yang harus meninggalkan kota ini untuk melupakannya.
Rembulan
tak seperti biasanya. Cahayanya yang mereka sebut indah namun bagiku biasa
saja. Kegusaran terus menjelma dalam setiap puisi yang aku tuliskan. Malam itu
terasa sangat panjang. Sampai-sampai puisi pun kurapalkan kepada kematian. Kematian
yang menjadikankan aku dan dia menjadi harapan.
Matahari pagi mulai merambah dan
burung murai berkicauan di atas pepohonan. Pertanda pagi akan menyapa. Aku beraktivitas seperti
biasa. Berangkat kerja melewati jalan pahlawan lagi. Jalan yang sudah sering
aku katakan sebagai jalan saksi bisu hidupku. Di jalan ini juga aku dan Sariona
terakhir kali bertemu. Di
tempat kerja aku menjadi sunyi. Di sana kuhabiskan waktu untuk beberapa puisi.
Setiap puisi memiliki pembacanya masing-masing. Harapku pembaca itu adalah dia.
Menjadi diksi diantara puisi-puisiku. Di tempat kerja aku memiliki seorang perempuan berumur yang sangat baik,
namanya Bu Ayu. Saat itu Bu Ayu memperhatikan tingkahku di ruang
kerja. Dia mendekat dan menyapaku.
“Kenapa
kau Luhut. Tak biasanya seorang editor kulihat galau seperti ini?”
“Tak
apa Bu Ayu. Aku hanya
pening saja.”
Bu
Ayu tidak yakin dengan jawabanku. Ia memaksaku untuk tetap bercerita saat itu.
Kutarik napas dalam-dalam. Sedalam aku mematikan kenangan.
“Kamu
kenapa Luhut?” Tanya Bu
Ayu kembali.
“Bu,
aku sedang dilanda kerinduan. Bukankah
rindu itu adalah keharusan. Sementara kita menjadi fana.” Bu Ayu menatapku dengan tawa kecil di
bibirnya yang berkerut.
“Ah,
ini masalah biasa. Semua pasti mengalaminya Luhut. Sekarang begini saja, kau
rapalkan namanya dengan puisi-puisimu itu. Kemudian terbangkan ia melalui doa.
Ikhtiarkan ia melalui karya. Entah orang yang kau sebut itu masih ada atau
tiada biarlah waktu yang menjawabnya. Sekarang pergilah ke Lapangan Merdeka mana tahu disana
kau dapat jawaban,” ucapnya.
Aku
yang terlalu membiasakan diri larut dalam kerinduan ini. Setelah pulang kerja
aku memutuskan untuk pergi ke lapangan merdeka. Tempat di mana orang-orang bisa
merdeka dari kerinduan pikirku. Lapangan merdeka tidak jauh dari Harian
Waspada. Setelah perbincangan dengan Bu Ayu, aku langsung menuju tempat itu. Tidak lupa aku menghubungi Darman untuk datang.
Matahari
sudah memerah di antara gedung-gedung di sekitar lapangan merdeka. Aku
menikmati sore-sore yang menjadi kesepian dan akan menghapuskan kerinduan. Aku
mengeluarkan selembar kertas dan mulai menuliskan puisi untuknya.
Pada teriakan sunyi aku menjadi
kata dalam perjalanan kita mengenang luka
Puisi ini adalah caraku
menghapuskan kerinduan yang akan kuhaturkan dalam doa
Teruntuk kematian ataupun kehilangan
jika dia mendekapmu
Maka keikhlasan adalah jalan untuk
sebuah pertemuan
Begitulah puisi aku tuliskan. Aku menatap ke arah gerbang
masuk, dari
kejauhan Darman berlari ke arahku.
Dia berlari seperti sedang kerasukan. Ditangannya aku lihat selembar kertas.
Darman mendekat kearahku tanpa sepatah kata. Dia hanya menyodorkan kertas ini, di ujung kertas itu aku melihat nama Sariona bersanding
dengan lelaki lain. Tak ada yang disesali, sebab janjinya ia tepati untuk
kembali. Walau dengan selembar undangan yang menyayat hati.
Penulis bergiat di Forum Lingkar Pena Medan.
0 comments