Tinah ingin memuntahkan isi mulutnya.
Sambil meringis dia terus mencoba meneguk minuman yang dibuatkan si Mbok. Ekor matanya mencuri pandang ke
arah pintu dapur. Barangkali si Mbok lengah mengawasi Tinah. Tampaknya si mbok
sedang mengupas kunyit. Mual, itulah yang dirasakan Tinah. Tanpa berpikir
berpikir panjang, semua isi mulut dimuntahkannya.
Tinah?,
si Mbok berlari kecil menghampiri.
Nah
nggak suka jamu, Mbok. Udah berapa
kali Nah bilang, Nah nggak mau minum Jamu.
Lah,
piye toh, anak perempuan kok nggak
suka minum Jamu? Jamu itu minuman yang bagus, biar sehat, biar ayu.
Tapi
Nah nggak suka baunya, mbok. Aneh gitu,
mbok.
Walah
Nah, Nah. Kamu itu orang Jawa, harus suka minum Jamu. Jamu itu udah turun temurun
jadi minuman orang-orang Jawa. Apalagi kamu itu anak perempuan. Minum jamu itu
bisa bantu ngerawat tubuh kamu. Biar bersih luar dalam, bisa bikin ayu.
Ah,
si Mbok, dari kecil masak Nah disuruh minum jamu terus.
Ya, tapi dari kecil kamu
nggak pernah habis minum jamunya, selalu aja dimuntahkan. Mbok bikin jamu
untukmu itu kan karena mbok pengen kamu itu sehat, nggak tukang sakit-sakitan.
Coba kalo kamu sakit, apa nggak repot, biaya perobatan mahal.
Nah muak, mbok. Jangan paksa
Nah minum jamu lagi, mbok. Pokoknya Nah nggak mau. kalo mbok takut Nah sakit, Nah kasih minum vitamin aja.
Uwalah, jamu itu lebih bagus
daripada vitamin. Jamu itu alami.
Tetap aja Nah nggak suka,
mbok.
“Yo uwes, terserah kamu aja lah Nah. Sekarang cepet dihabisi jamunya,
tinggal sedikit lagi itu kan. Habis itu bantui mbok bikin jamu untuk jualan
besok.
Tinah pun meneguk sedikit demi
sedikit, lalu menyisakan seperempat isi gelas. Sambil celingukan mengawasi
gerak-gerik si Mbok, Tinah membuang
sisanya ke luar jendela. Berharap mudah-mudahan si Mbok tidak memergoki perbuatan Tinah.
Buru-buru Tinah menyusul si Mbok ke dapur, membantunya membuat jamu.
Ya, membuat jamu sudah seperti ritual yang harus dilakukan Tinah saban sore.
Mengupas kunyit, jahe, temulawak, dan aneka bahan jamu lain yang seabrek-abrek jumlahnya. Belum lagi
semuanya harus di parut. Ah, memarut adalah pekerjaan yang paling membuat Tinah
menderita. Setiap kali memarut, tangan Tinah selalu terluka. Setelah memarut,
Tinah mengiris gula merah. Setelah itu, si mbok
pun meracik semua bahan. Sementara itu, Tinah pun membersihkan botol-botol
jamu, gelas, dan beberapa perlengkapan yang biasa dibawa si mbok berjualan, serta mengisi air panas
ke termos. Nah, jangan lupa telur ayamnya, kata si mbok kalau-kalau Tinah terlupa.
Suara ketukan pintu
membuyarkan lamunan Tinah. Semua kenangan tentang jamu pun terputus. Tinah
masih menatap lekat-lekat gelas di genggamannya. Berusaha menguatkan diri dan
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneguk seluruh isi gelas. Tinah membayangkan
es doger di hadapannya, lalu menyeruputnya dengan damai. Ayo Nah, habiskan, kau
bukan kanak lagi, batinnya. Airmatanya meleleh membekasi sisi gelas. Suara
kecil langkah kaki perlahan mendekati Tinah.
Nah, tumben jamunya habis?
Ya mbok, kan biar sehat mbok, bersih luar dalam, biar ayu. Tinah menyunggingkan bibir.
Kok baru nyadar sekarang sih ndok?
Tinah masih menyunggingkan
bibirnya. Dia pun beranjak ke dapur, menghindari percakapan dengan si mbok.
Tinah merasa pusing, matanya berkunang-kunang, perutnya pun terasa mulas,
seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Tinah mual, sambil membekap
mulut dia berlari ke sumur. Tinah merasa limbung, pandangannya pekat. Tinah
merasakan sesuatu yang dingin. Suara gemericik air pun perlahan mengecil di telinga
Tinah. Memorabilia memenuhi kepala Tinah, segelas jamu si mbok menari-nari di
pelupuk matanya. Lalu semuanya tinggal hitam.
Si mbok yang mendengar bunyi dari arah sumur pun berlari menghampiri. Seketika jeritan si mbok melengking di udara. Ada darah mengalir dari selangkangan Tinah, kental dan amis.
Tentang Penulis Fitrah Nur Aidillah Nst, Sekum FLP Sumut, Pimred Ruang Karya, dan aktif berkegiatan di beberapa organisasi lain).
0 comments