“Berawalnya pandemi covid-19 dari Wuhan China dan merambah
ke negara lain membuat krisis ekonomi bahkan beberapa sektor bisnis yang sangat
memprihatinkan. Krisis ekonomi global yang melanda sebagian besar negara di
dunia termasuk Indonesia, memperlihatkan bahwa keseimbangan dalam perekonomian
suatu negara tidak bisa dengan hanya mengandalkan sektor swasta. Kontribusi
sektor pemerintah juga sangat dihandalkan. Namun beberapa pabrik terus
mendatangkan pekerja asing khususnya dari Cina”
Begitulah isi
dari salah satu opini yang kubaca di koran lokal Kota Medan. Berangsur covid-19 membuat
resah masyarakat dan pemerintah. Bahkan di Indonesia sendiri sudah mulai
merambah. Batinku berkaca saat itu. Tentang satu kebijakan yang membuat semua
semakin resah. Ibu memandangiku dari kejauhan kemudian mendekat.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya ibu.
“Tak apa Bu,
hanya risau saja dengan kebijakan pendatangan TKA.”
“Ya, sudah
berbuat semampunya. Ikhtiar dan doa itu penting bukan.”
Malam masih
saja kelam. Setelah pembicaraan itu, aku pergi menelusuri jalanan. Pada setiap
persimpangan aku hanya menatap pada satu arah namun itu belum pasti dan masih
membuat tanya. Ini adalah kesekian kalinya aku menyaksikan kesendirian bulan di
atas kuburan. Ketika semua orang tertidur lelap dan hanya menarik satu selimut
di atas ranjang. Kuperhatikan segumpal darah yang mulai keluar dari
lorong-lorong tua mereka membawa plastik dengan botol aqua. Aku heran
melihatnya sampai pada persimpangan jalan aku menatap dan secepat itu mereka
berlari walau masih rawit namun lincah. Ini anak-anak atau astuti dengan
kecepatan nitro. Larinya kencang tapi badannya kecil pikirku di saat itu.
Jalan ini
adalah diberi nama para pahlawan, dalam pikiranku mungkin mudah menjadi
terkenal dan untuk dikenal cukup menjadi seorang pahlawan akan menjadi abadi
dalam jalanan. Ah ternyata tidak juga! Terlebih itu bukanlah tujuan hidup yang
seutuhnya karena apabila nyawa sudah tiada kita tidak berarti apa-apa. Aku
menelusuri sepanjang jalan setelah kemarin terjadi demo besar-besaran oleh
aktivis mahasiswa dengan para petugas keamanan pabrik. Kabarnya pabrik tersebut
mendatangkan puluhan tenaga kerja dari Cina. Tak ada upaya dari pihak
pemerintah dalam menanggulangi masalah itu, semuanya sepertinya berlalu begitu
saja. Dari kejauhan aku melihat beberapa orang penjaga yang berpakaian hitam
sambil mondar-mandir menyisiri tempat pembakaran ban. Mereka terlihat sangat
sibuk menjaga pabrik itu. Terlebih pekerja asing itu tinggal di perumahan dekat
pabrik. Semuanya semakin mencekam. Apalagi covid-19 masih menjadi ancaman untuk
semuanya.
Langkahku
terhenti, aku diam sambil merenung ada apa dengan bangsaku yang kocar-kacir
karena orang lain? Padahal kami adalah
pribumi di negeri kami. Tapi gedung-gedung pencakar langit adalah milik
orang lain dan kami menjadi kacung di tempat kami berdiri. Mata ini pun
terengah setelah seorang kakek tua menghampiriku dan merasa kaget dengan
kehadirannya.
“Kenapa kamu Cu? Jangan terlalu memikirkannya, itu sudah teroganisir,”
ucap seorang kakek tua sambil tertawa terbahak-bahak.
Kemudian kakek
itu langsung pergi, mendengar hal itu aku langsung berpikir maksud dari
kata-katanya. Tanpa basa-basi langsung kutinggalkan tempat demo itu karena
takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kaki pun mulai melangkah
meninggalkan kawasan itu. Setibanya dirumah aku terpaku sambil merenung tentang
tangan-tangan merah yang mulai berdarah membajak rakyat. Malam itu aku terlelap
dengan segala kebimbangan.
***
Matahari mulai
merambah di kasurku, ibu pun membuka jendela
“Muchtar, bangun nggak kuliah rupanya?!”
“Iya Bu, ini mau bangun kok.”
Langsung aku
bergegas membersihkan badan setelah semalaman tadi berkelana di medan aktivis
para tangan merah itu. Sambil sarapan, tak sengaja pagi itu, terdengar berita
di salah satu channel swasta, yang
menginformasikan bahwa akan ada blokade jalan yang dilakukan mahasiswa sebab
pabrik tekstil mendatangkan pekerja luar. Di tengah situasi yang genting.
Mendengar kabar
itu, aku langsung berangkat ke kampus dan mengumpulkan para kawan-kawan dari
beberapa ormawa di kampus untuk mengadakan konsolidasi aksi. Beberapa orang
diantara kami telah berkumpu dengan pakaian masker seadanya, kuambil alih dan
langsung mengorasikan pada kawan-kawan dari di BEM kampus yang hadir beserta
aktivis lainnya.
“Rekan-rekan
mahasiswa saat ini situasi karena covid-19 sangat genting. Tapi masih saja
pabrik-pabrik itu mendatangkan warga Cina. Kita jelas mengetahui kalau Wuhan
menjadi kota pertama yang diserang dan itu berada di Cina. Wilayah kita
terancam dengan keaadaan seperti ini. Sudah saatnya kita bangkit. Bukankah
seorang proklamator mengatakan “bahwa
pemuda adalah ujung tombak dari sebuah negeri.”
Semua terdiam,
dan kulihat mata mereka merah, salah satunya adalah Taupiq yang terus berkoak
dari tengah kumpulan orang, ia membakar semangat mahasiswa supaya bisa
bergerak. Dan hari itu adalah sejarah bagi kami dan kawan-kawan yang hadir
mengembalikan hak kami di tanah kelahiran ini.
Di tengah orasi
tiba-tiba seorang anggota parlemen menatap ke arahku, matanya tajam, mukanya
kemerahan serta bibir yang legam. Kutatap ia penuh dengan tatapan yang begitu
indah, serta senyuman yang ku beri pada raut wajah yang merah namun seram. Jika
dilihat dari depan ia seperti singa yang kepanasan. Ia adalah Prof. Ambarita,
seorang anggota dewan yang penuh dengan pikiran kotornya.
“Apa-apaan ini!! Kalian mau membuat onar lagi, sok aktivis! aktivis itu
tak ada gunanya, kalian sampah!!”
Dengan nada
kasar ia terus menekankan untuk tidak melanjutkan kegiatan itu. Beliau pun
meninggalkan tempat tersebut. Namun aku terus berkobar membangkitkan semangat
kawan-kawan untuk membela hak rakyat yang tersakiti. Satu bendera kami angkat, para
kawan-kawan yang lain mengikuti dari belakang. Dengan arak-arakan sambil
mengungkapkan aspirasi kami menuju pabrik yang tidak jauh dari daerah kampus.
Di penghujung jalan sudah bersiap pihak keamanan dari pabrik, tapi yang kami
heran saat itu kenapa bisa Satpol PP ada di sana di saat bersamaan. Mereka
menghadang dengan seragam, salah seorang dari pihak mahasiswa lari dan berkoak,
“BERIKAN HAK KAMI!”, hingga
keringatnya bertumpahan dan matanya berlinang kesedihan dengan keadaan rakyat
dan nasib para jelata.
Orang-orang
berseragam itu kemudian berlari ke arah kami, dengan perisai dan gulungan kawat
mereka menuju ke arah mahasiswa yang demo saat itu. Beberapa dari kami mulai
lumpuh dan tumbang di tengah aksi yang mulai panas itu. Dari pihak mahasiswa
juga tidak tahan dengan Pasukan Satpol-PP yang pro terhadap pabrik kimia itu.
Aku berlari sambil membawa sang bendera yang sejak tadi sudah kami kibarkan.
Menuju ke tengah-tengah kawan-kawan yang kini mulai putus asa karena aspirasi
dari kami tidak diindahkan. Dan hari itu tepat jam 12.00 WIB adalah puncak dari
aksi yang kami beri nama “Sebelum Zona
Merah”. Kami berhasil menerobos masuk ke dalam pabrik, semuanya hilang
kendali. Pihak kepolisian telah sampai di tempat itu. Tak bisa dipungkiri kalau
ini adalah sebuah jalan menuju kebaikan.
Manaf, mahasiswa jurusan teknik sebagai usungan untuk berdiskusi
dengan pihak pabrik dan Pemda setempat. Untuk menghindari kerusuhan yang lebih parah
lagi.
Setelah dua jam
lebih, dan perbincangan yang sangat panjang akhirnya pihak pabrik menerima
saran dari Manaf untuk memulangkan para pekerja dan isolasi terlebih dulu.
Mereka setuju untuk tidak melakukan aktivitas yang serupa lagi.
Namun naas, tak
patut dipungkiri. Setelah kejadian itu perkataan mereka hanya fiksi. Kumpulan
tangan berdarah masih saja meninggalkan bekas. Terutama kepada anak-anak di
sekitar pabrik. Aku diam dan hanya bisu, saat kuasa meringan semuanya.
Tentang Penulis Mhd Ikhsan Ritonga lelaki kelahiran Roncitan, 30 Juli 1998. Bergiat di Forum Lingkar Pena Medan. Beberapa karyanya terbit di Analisa, Waspada, Apajake.id, Simalaba.net. Buku kumpulan puisi tunggalnya “Serumpun Puisi Setapak Jalan” (Guepedia, 2018), Senjaku di Sipirok (Al-Qalam Media, 2019).
0 comments