Mungkin kita tidak pernah menyangka akan berada di tengah-tengah situasi pandemi yang mencekam. Kekhawatiran terkena virus ketika harus terpaksa keluar rumah membuat kita mawas diri lebih dari biasanya. Mengenakan pelindung tubuh dan menjaga jarak dengan orang lain adalah upaya kita meminimalisir penyebaran penyakit.
Seolah
kisah di dalam dunia fiksi mewujud nyata, kehidupan kita tak akan lagi sama
seperti sedia kala. Mau tak mau, kita akhirnya harus menjaga diri sendiri dari
ketidak pastian kapan pandemi ini akan berakhir. Kematian pun akan terasa
semakin dekat dan nyata dibandingkan sebelumnya karena hanya ada dua akhir dari
pandemi ini, bertahan atau mati.
Serupa tapi tak sama, di dalam Blindness, Jose Saramago menceritakan bagaimana kebutaan menjadi penyakit menular dan mewabah di sebuah negara tanpa nama. Rakyatnya, pemerintahnya, hampir semua orang mengalami kebutaan. Mungkin sudah bisa terbayangkan oleh kita bagaimana jadinya negara tersebut.
Sampah kotor menggunung
bersama kotoran manusia yang berserakan di tepi jalan. Tak ada penerangan
maupun air bersih. Ketersediaan bahan makanan semakin menipis. Demi bertahan
hidup, manusia akhirnya akan melakukan segala cara, termasuk membunuh hewan
atau manusia lain untuk memperebutkan makanan. Segalanya menjadi kacau balau.
Batas benar dan salah menjadi sangat tipis.
“Kalaupun tidak dapat hidup sepenuhnya seperti layaknya manusia, setidaknya marilah kita berusaha sekuatnya agar tak hidup sepenuhnya seperti binatang.” Begitulah pesan penulis asal Portugal ini secara tidak langsung di dalam novelnya.
Kengerian
yang diimajinasikan melalui Blindness tentang sifat paling dasar manusia
sebagai makhluk hidup membuat kita bertanya-tanya kembali, “Apa yang membedakan
kita dengan makhluk lainnya?”
Situasi
kita saat ini tidaklah seekstrem wabah imajinasi Saramago. Namun, pandemi yang
sudah berlangsung selama beberapa bulan ini cukup berhasil mengikis nalar
kemanusiaan sebagian kita.
Barangkali
masih lekat di ingatan bagaimana sebagian masyarakat negeri ini memperlakukan jenazah
korban pandemi yang meninggal dunia. Ditolak di banyak tempat hanya karena
warga tidak ingin tertular. Jenazah yang di pagi hari seharusnya dikubur
secepat mungkin ternyata baru mendapatkan tempat di malam hari. Padahal,
jenazah tersebut sudah diamankan oleh pihak yang berwenang.
Yang
bertahan hidup pun tak kalah malang diperlakukan. Diusir dari lingkungan tempat
tinggalnya seolah ia adalah aib yang harus disingkirkan. Sudah jatuh, tertimpa
tangga pula. Ternyata nalar kemanusiaan kita tidak cukup kuat mengalahkan
kecemasan ataupun ketidak pahaman.
Tabiat
sebagian masyarakat yang tidak peduli akan kehadiran pandemi justru lebih
memprihatinkan. Mereka menertawakan dan mencemooh. Yang lebih menyedihkan lagi,
kita menuduh, membenci dan menyebarkan informasi keliru yang akan berimbas pada
banyak hal buruk. Bagaimana lagi jika pandemi ini semakin tidak terkendali?
Apakah kita akhirnya akan kehilangan nalar kemanusiaan kita?
Manusia
adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Ini
secara jelas disebutkan di dalam kitab suci Al-Quran, surat Al-Israa’ ayat 70,
yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa Allah memuliakan manusia karena Dia telah menciptakan kita dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan sempurna, seperti yang termaktub di dalam surat At-Tiin ayat 4. Maksudnya, manusia sempurna mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya dan makan dengan kedua tangannya.
Sementara
hewan, mereka berjalan dengan keempat kakinya dan makan langsung dengan
mulutnya. Manusia juga diberikan indera pendengaran, penglihatan dan hati agar
bisa memahami, memanfaatkan dan membedakan benar dan salah, baik dan buruk,
apakah itu berkaitan dengan agama maupun dunia.
Kita
bisa mengendarai hewan tunggangan, bepergian dengan moda transportasi
darat-laut-udara, menikmati makanan lezat, juga melihat pemandangan indah, yang
kesemuanya ini adalah bentuk kemuliaan lainnya yang diberikan Allah.
Ketika
segala kemuliaan telah dilebihkan atas manusia, bukankah seharusnya kita
bersyukur dan memaksimalkannya untuk kebaikan?
Pandemi masih terus berlangsung selama rantai virus tidak dihentikan. Bijaksananya kita menahan diri untuk tidak berlaku zalim adalah satu dari banyak upaya kita meminta berkahnya usia kepada Allah. Semoga ini bukan masa terakhir kita.
Biodata Penulis
Evyta Ar seorang Blogger, pecinta buku dan penikmat hijau.
0 comments