Ilustrasi
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Menguap sehabis bangun dari tidur siangku. Pukul 12 tepat, saudaraku seperti orang anemia. Terbaring di kursi duduknya. Mukanya lesuh dan matanya kosong macam orang tak punya hasrat hidup. Sementara orangtuaku di depan televisi mendengar penjabat berceramah tentang kebijakan daerah. Matanya memerah dan mulutnya komat-kamit tak jelas. Aku tebak pasti ia memaki banyak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil terhadap rakyatnya.
Sudah entah berapa lama semenjak pemerintah memutuskan untuk merumahkan setiap warganya. Corona virus memaksa banyak manusia menjalani hidup sebagai seekor burung yang hidup dalam sangkar. Segala lingkup gerak mesti dibatasi. Memberi cukup ruang demi keselamatan satu sama lain.
Namun di lain sisi, semenjak itu pula perlahan omelan orangtua dan saudaraku terhadapku meredup. Mungkin mereka mulai menyadari, hidup sebagai pemalas ternyata tidak semudah kelihatannya. Batin mereka tersiksa akibat luangnya waktu, teraniaya oleh kosongnya kegiatan.
Protokol-protokol keselamatan yang dianggap dapat mengurangi resiko penularan justru tidak bisa menyelamatkan mereka dari kebosanan. Tetanggaku yang seorang pedagang bahkan lebih parah lagi. Protokol-protokol hasil kebijakan pemerintah tersebut mungkin berpeluang menyelematkan nyawa mereka. Tapi sayangnya tidak dapat menyelamatkan perekonomian tetanggaku juga.
Mereka mungkin tidak akan tertular virus jika tetap di rumah. Tapi jelas mereka akan tertular kemiskinan jika tidak segera mencari sumber penghidupan lain.
Setelah sekian lama menjalani hidup di dalam rumah, kemarin menjadi kabar gembira bagi banyak manusia yang tinggal di negara ini. Keputusan melakukan New Normal mulai diberlakukan. Orang-orang akan diizinkan lagi untuk berkeliaran. Toko-toko boleh dibuka lagi. Pasangan muda-mudi yang belum halal punya kesempatan bermaksiat lagi. Klub malam dapat penghasilan lagi.
Meski demikian, sebenarnya ayahku sudah memulai melakukan New Normalnya sendiri senjak seminggu lalu. Ia sholat lima waktu di masjid dan melenggang santai ke pasar-pasar. Setiap kali kutanya ia mau ke mana, ia selalu menjawab,
"Ngehadiri konser." Jelas Ayah tahu bagaimana cara menghindari berurusan dengan hukum. Sepanjang pandemi ia kerap mengkritik kebijakan menutup masjid dan musola. Bagaimana bisa rumah ibadah ditutup, tapi mall-mall dibuka dengan alasan memberi cukup banyak pajak.
"Sejak kapan Corona kenal uang rupiah!? Hah!?"Ayah muntah. Aku diam saja.
Sebab bukan rahasia lagi kalau kebijakan dan hukum di negara ini bisa dimainkan seenak gundu oleh mereka yang punya uang dan kuasa. Kita rakyat jelata bisa apa selain mengangguk pasrah.
Kudengar New Normal akan mampu mengembalikan ekonomi seperti sedia kala. Aku penasaran apakah langkah itu akan berlaku terhadap finansial saudaraku yang sudah dipecat dari tempat kerjanya sebagai guru.
"Tidak coba cari kerja lain?" Tanyaku menghiburnya.
"Nanti." Ia tidak mengembalikan kalimatku seperti biasanya. Jelas karena ia tahu akan posisinya. Sekarang statusnya tak lebih dari seorang pengangguran. Status yang selalu digunakan sebagai landasan mukaddimah saat ingin berpidato di depanku. Sedangkan sekarang statusku berada satu kasta di atasnya. Partikelir, alias pekerja serabutan.
Walaupun sebenarnya new normal ini pun tidak terlalu berarti buatku. Dari mulai sebelum pandemi, saat pandemi, atau bahkan pasca pandemi ekonomiku terbukti tidak bertumbuh. Yah, banyak yang bilang aku kurang berusaha. Ada benarnya juga. Tapi tak dipungkiri pula, mencari kerja di negara ini sama payahnya dengan mengajak pasangan menikah tanpa resepsi.
Ayah selalu bilang ini akan jadi kesempatan kami berdua untuk memulai hal baru. Mencari pekerjaan baru. Aku sering bertanya dalam hati, "Benarkah?"
Untuk orang yang berada di posisiku atau saudaraku, new normal, tatanan baru atau apapun namanya. Terserah bagaimana mekanismenya, kami tidak terlalu acuh. Terdengar egois, tapi memang yang hanya kami paling harapkan dan pedulikan saat ini hanyalah bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan, dan mengembalikan martabat diri kami. Menata kembali motivasi hidup kami. Menyambung hidup kami. Menyelamatkan finansial kami dari terpaparnya kemiskinan tingkat gawat.
Penulis: Bagus D Kesumo
Share This :
0 comments